Sabtu, 23 Mei 2009

Demokrasi & Dilema

Demokrasi selalu menuntut adanya partisipasi aktif dari rakyat dalam proses pengambilan kebijakan politik. Rakyat dilibatkan dalam pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga kepentingan rakyat dapat tercermin dalam kebijakan-kebijakan pemerintah. maka harus disadari dan dimengerti bahwa setiap kebijakan dalam negara demokrasi merupakan cerminan atau representasi kepentingan rakyat.

Persoalan tentang demokrasi pluralis atau pluralisme demokrasi hanya merupakan satu aspek dari dilema umum dalam kehidupan politik: otonomi atau kontrol ? atau dengan mengajukan pertanyaan yang agak naif: berapa luas otonomi atau berapa banyak kontrol?

untuk menghindarkan kompleksitas problema yang masih berkembang, kita dapat mempertanyakan berapa luas otonomi yang seharusnya diizinkan dan kepada para pelaku yang mana, dengan memandang pada tindakan-tindakan yang bagaimana, dan sehubungan dengan pelaku-pelaku lain yang mana, termasuk negara.

Menurut Maswadi Rauf demokratisasi adalah sebuah proses tanpa akhir. karena demokrasi yang diinginkan oleh teori demokrasi tidak akan pernah bisa dihasilkan. kedaulatan rakyat sesungguhnya tidak akan pernah tercapai karena kemungkinan selalu saja ada masuknya unsur-unsur yang merupakan kepentingan kelompok tertentu di dalam kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. akibatnya kedaulatan rakyat tidak berlaku sepenuhnya.

Dalam memenuhi standar demokrasi ada baiknya kita melihat pernyataan Robert Dahl yang mengatakan, bahwa paling sedikit ada lima standar yang harus dipenuhi oleh suatu negara bangsa dalam proses demokrasi, sehingga terbentuk pemerintahan yang bisa dikategorikan demokratis secara spesifik. yaitu adanya persamaan, adanya pemahaman, pengawasan agenda, dan pencakupan orang dewasa.

Untuk menerangkan batas-batas mengenai cara pemecahan atas problema pluralisme demokrasi yang disebabkan oleh demokrasi itu sendiri, saya menggambarkan republik demokrasi yang memenuhi kriteria demokrasi secara sempurna. maka yang harus diselesaikan adalah menyempurnakan lembaga, proses, dan proses kebijakan, kondisi poliarki agar memenuhi kriteria demokrasi.

kita juga harus menjadikan berbagai jenis sumber politik, pengetahuan, keahlian, informasi, akses menuju organisasi, pendapatan, kesejahteraan dan status harus terbagi secara adil di antara warganegara. karena sesungguhnya pola-pola kesenjangan sumber-sumber seperti ini selalu berada di negara yang mengklaim dirinya demokratis.

Yang harus selalu kita ingat demokrasi dapat diartikan sebagai distribusi sumber-sumber politik diiringi dengan mengurangi kepentingan politik yang berlaku. demokrasi tidak pernah dapat menghindari kerugian selama kesenjangan besar dalam distribusi sumber-sumber politik tetap berlaku, dan pluralisme demokrasi akan gagal memenuhi kemungkinan berdirinya demokrasi dalam skala luas.

Rabu, 20 Mei 2009

Pilih Mana

Kalau Mau Yang Punya Budi Pekerti Jawabannya SBY- Berbudi
Kalau Mau Yang Pro Rakyat Pastinya Mega-Pro
Kalau Mau Lebih Cepat Lebih Baik Katanay Sih Jk - WIN

Semuanya Sama Aja Cuma Jargon Kampanye. Tapi Bagaimanapun Pilpres Kali Ini Ga Boleh Golput Karena Bangsa Masih Butuh Pemimpin Untuk Melanjutkan Nasib Negri Ini.... Hehe Dari Tiga Kriteria di atas Pilih Yang Mana Tuh

Jangan Sampai Rezim Soeharto Terulang

Jangan Sampai Rezim Soeharto Terulang Kembali
Mungkin banyak yang pro kontra di kalangan elit, politisi serta rakyat, begitu membaca judul diatas. Akan tetapi jika kita melihat Undang-undang dasar 1945 pasal 7, Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Dengan adanya pasal 7 undang-undang dasar 1945 tersebut, berarti seorang presiden hanya bisa dicalonkan dan menjabat sebagai presiden hanya untuk 2 kali periode. Setelah itu beliau tidak dapat dicalonkan bahkan menjabat.

Bangsa ini telah terpuruk kedalam kondisi yang cukup parah, setelah rezim Soeharto dengan system Kroni kroninya yang menyebabkan merajalelanya KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme) sehingga melumpuhkan bangsa ini secara ekonomi, ideologis, dan pemikiran serta hilangnya kepercayaan rakyat kepada system hukum yang berlaku.

Kehancuran ekonomi sangat jelas dapat dilihat, berpindah tangannya kepemilikan banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia kebangsan asing, mahalnya biaya kehidupan dinegeri ini, dan masih banyaknya rakyat yang hidup dibawah batas kehidupan yang sepantasnya.

Pemaksaan dan doktrinisasi pancasila pada masa era Rezim Soeharto, juga menimbulkan resistensi dari kalangan masyarakat dan para tokoh-tokoh bangsa, sehingga diera eforia reformasi, terlalu banyak aturan-aturan yang berjiwa liberalis masuk kedalam tatanan kehidupan bangsa. Seakan-akan menenggelamkan pancasila sebagai ideologi yang paling ideal untuk Indonesia.

Hilangnya kepercayaan seluruh rakyat kepada system nilai dan hukum di negeri ini, sebenarnya memiliki dampak yang sangat luar biasa. Walaupun itu tidak disadari, ketidak adilan dalam sistem hukum tersebut menciptakan keruwetan dan inefisiensi dalam kehidupan bermasyarakat. Anda mungkin saja berpikir kalau hal ini tidak ada hubungan dengan preman jalanan hingga yang berdasi di Ibukota. Atau rendahnya tingkat disiplin pegawai dinegeri ini. Ini semua, tentu saja ada kaitannya dengan penegakkan hukum tersebut. Para pengusaha,pejabat dapat seenaknya melanggar peraturan hukum, karena adanya kesan, bahwa jika mereka bersentuhan dengan hukum , mereka tinggal memberi sejumlah uang kepada institusi terkait dan sangat amat di sesali ketika KPK tidak Berperan Maksimal dalam memberantas korupsi. Mungkin saja, pemimpin tertinggi di kepolisian saat ini, tengah melakukan pembenahan untuk memperbaiki citra tersebut, tetapi tentu saja diperlukan waktu yang cukup lama dan tentu saja usaha dan kerja keras yang luar biasa juga.

Ketidak taatan tersebut tentu saja didasari oleh kondisi ketidak adilan tadi. Mungkin hampir semua rakyat berpikir, yang melakukan kejahatan dan pelanggaran yang berat saja tidak dihukum dengan hukuman setimpal, Justru banyak yang lolos dari proses jeratan hukum. Justru dilembaga peradilan seperti Kejaksaan Agung saja terungkap korupsi dalam jumlah besar, dan penanganannya masih setengah-setengah, hanya Jaksa Urip saja yang dihukum. Seharusnya pada saat terungkapnya kasus tersebut, Jaksa Agung langsung dicopot, karena tidak mampu melakukan pengawasan terhadap bawahannya, sehingga lembaga peradilan dinegeri ini tercoreng. Tetapi itu tidak dilakukan, kembali terjadi pembolehan dan pemakluman atas suatu penyimpangan yang sangat luar biasa.

Mengingat kondisi bangsa saat ini, benar-benar diperlukan suatu usaha yang ekstra agar bangsa ini kembali dapat menegakkan kepala, merasa bangga karena bisa menjadi bangsa yang berdaulat secara ekonomi, budaya dan ideologis. Bukan menjadi kacung di negeri sendiri. Usaha keras tersebut tentu membutuhkan seorang pemimpin tertinggi dalam hal ini seorang presiden.

Keterkaitan pasal 7 undang-undang dasar 1945 adalah, jika seorang presiden menjabat untuk kedua kalinya, dalam artiannya, beliau tidak dapat mencalonkan diri kembali untuk periode berikutnya, yaitu ketiga kalinya. Tentu saja ini akan berdampak, dalam masa pemerintahan kedua ini, sang presiden tidak berusaha secara maksimal, karena tidak ada yang harus dijaga dan dikejar, istilah kerennya “nothing to lose” (mungkin maksudnya dengan hati yang gak tulus). Dampaknya pembangunan bangsa ini hanya seadanya.

Realita, perjuangan yang dilakukan oleh SBY-JK selama 5 tahun ini, harus secara jujur kita mengakui bahwa pasangan ini sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan pembenahan disana sini, agar kecompang campingan kehidupan dinegeri ini dapat ditambal. Tetapi kita juga harus jujur, bahwa usaha maksimal yang dilakukan keduanya, belumlah mencapai hal-hal yang diinginkan oleh masyarakat. Tentu hal itu tidak terlepas dari starting point yang diperoleh keduanya.

Berdasarkan ide yang dijelaskan diatas, maka untuk hasil pembangunan yang maksimal, sebaiknya yang sudah pernah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden, seharusnya sadar diri untuk ikut serta dalam pemilu 2009 ini. Hal ini termasuk untuk SBY, JK, Megawati, Gusdur, Habibie. Masih banyak tokoh-tokoh bangsa lainnya yang dapat maju sebagai presiden dan wakil presiden dan tentunya bukan mereka yang pernah mempunyai noda hitam di Republik ini

Sudah saat nya pemimpin bangsa, mari mendahulukan kepentingan bangsa dan Negara.Tegakkan Kedaultan Rakyat, setegak-tegaknya………
Jangan Biarkan Bangsa Ini Di Jajah Oleh Asing Serta Bangsa Sendiri Karena Tidak akan Pernah Ada Kedaulatan Rakyat Jika Feodalisme Masih Bertengger dalam dunia Demokrasi

Jumat, 15 Mei 2009

Delklarasi Antek-antek Asing

Antek2 Imprealis Hari Ini Akan Melakukan Deklarasi untuk maju dalam, pilpres 2009 dengan mengusung tema" Satu Suara Untuk Satu Bangsa"
Jelas Suara Itu Hanya Punya Kaum2 Komprador Bangsa Hal Itu Terbukti Karena Latar Belakang Ke dua pasangan seperti Gubernur BI yang mendapat Penolakan Dari Rakyat

Cawapres Budiono disebut M Amien Rais, tokoh reformasi, sebagai sosok neoliberal yang membawa ekonomi nasional ke jalan terjal ekonomi kapitalisme kolonial. Amien Rais menegaskan, Boediono adalah rekannya sesama dosen UGM.

Namun Budiono adalah seorang ekonom neoliberal, yang konsep dan paradigmanya tak sesuai dengan realitas ekonomi rakyat Indonesia, dimana kemiskinan dan ketidakadilan masih akut.

Kalangan analis ekonomi-politik mencatat bahwa selama menjadi Menko Perekonomian era SBY-JK, ada empat persoalan yang pernah mengemuka ke dalam percaturan elite politik dan ke ruang publik.

Pertama, selaku Menko Perekonomian, Boediono menolak dan tak mau memberikan jaminan bagi proyek pembangkit listrik 10.000 watt. Baru setelah Wapres Jusuf Kalla mendesak dan menegaskan pentingnya proyek energi itu, Bodiono kemudian bersedia memberikan jaminan, itupun sampai terlambat setahun.

“Persoalan ekonomi ini sempat mencuat dan menjadi isu politis,” kata Nehemia Lawalata, seorang pemerhati ekonomi-politik dan mantan sekretaris politik Prof Sumitro Djojohadikusumo.

Kedua, para analis mengingatkan bahwa sebagai Gubernur BI, Budiono pernah menolak membuka pasar uang dengan Bank Indover untuk menutupi kebutuhan likuiditas bank yang mencapai US$ 92 juta.

BI juga menolak memberikan jaminan terhadap fasilitas emergency liquidity assistance (ELA) yang akan diberikan De Nederlandsche Bank sebagai dana talangan. Akibatnya, Bank Indover kemudian jatuh dan harus mengeluarkan bailout sebesar Rp 7 triliun dengan persetujuan DPR.

Ketiga, Budiono menyatakan persetujuannya untuk memberikan blanket guarantee atau penjaminan terhadap simpanan nasabah secara penuh. Namun Wapres JK menolaknya karena jika jaminan pemerintah itu diberikan bisa memancing moral hazard. Kejahatan finansial seperti yang terjadi dalam krisis ekonomi 1997/1998 bisa terulang dan kemudian menjadi beban berat pemerintah.

Keempat, Budiono menolak menyatakan cekal (cegah tangkal) atas komisaris dan direksi Bank Century yang mau lari dari tanggung jawab dalam krisis di bank itu. Justru Wapres JK yang memerintahkan agar cekal itu dilakukan sebab ada komisaris/direksi bank itu yang konon mau lari tapi keburu tertangkap aparat.

Para analis ekonomi-politik juga menduga Budiono merupakan titipan dan perpanjangan kekuatan asing. “Semua orang tahu Budiono adalah kepercayaan IMF dan AS,” kata ekonom Revrisond Baswir.

Ekonom Fadhil Hasan juga melihat, kiprah Budiono itu membawa kepentingan global sebagai solusi atas krisis ekonomi nasional. Padahal paradigmanya masih menggunakan model lama yakni mengandalkan sektor finansial, privatisasi, liberalisasi dan pemangkasan subsidi serta menambah utang.

Pilihan SBY ke Budiono adalah pertimbangan untuk memperkuat fundamental ekonomi, memperbaiki ekonomi makro, dan mencegah resistensi atau konflik kepentingan dengan parpol-parpol pendukung Demokrat. Namun parpol seperti PKS dan PAN dalam koalisi Blok Cikeas, justru mempersoalkan pilihan SBY atas Budiono sebagai cawapres.

Ada kecenderungan kuat, akibat kehadiran Budiono, kini PAN dan PKS akan bergabung ke JK-Wiranto dan jika itu terjadi akan membentuk koalisi dengan jumlah 230 kursi di parlemen. Ini bisa mengimbangi kekuatan Blok Cikeas menuju keseimbangan baru.

Mencari Negarawan Berjiwa Leader

“Each leader belongs to a particular combination of time, place and circumstances, leaders are not interchangeable; great leadership is a unique form of art, requiring both force and vision to an extraordinary degree. Managers have as their goal to do things right and thinks of today and tomorrow, but leaders have as their goal to do the right things and think of the day after tomorrow.”

Demikian petikan pendapat Presiden Richard Nixon dalam bukunya Leaders, yang antara lain, menggambarkan perbedaan pemimpin yang bertipe manager dan yang berjiwa leader. Dia menggambarkan seorang manajer hanya administrator yang menjalankan hal-hal yang rutin dan menguasai manajemen sesuai SOP (standing operation procedure), sedang leader adalah change agent yang mempunyai visi ke depan, yang bila perlu mengubah dan meningkatkan aturan main untuk menetapkan sistem yang tepat sesuai kebutuhan masa depan.

Seorang negarawan adalah leader yang mempunyai visi ke depan. Bahkan, dapat memprediksi suatu situasi masa depan, berdasarkan analisis situasi dan konstelasi politik dan sosial-ekonomi pada masa yang sedang dialaminya. Jauh sebelum Perang Dunia II meletus, Bung Karno telah memprediksi akan pecah perang di kawasan Pasifik.

Memang Bung Karno adalah leader pada zamannya untuk memimpin bangsa melawan kolonialisme menuju kemerdekaan sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945. Bung Karno bukannya tidak mempunyai konsepsi ekonomi untuk menyejahterakan bangsanya. Dia sangat gandrung dengan prinsip kemandirian dalam bidang ekonomi yang diuraikannya dalam amanat Tahun Berdikari.

Demokrasi ekonomi dari Bung Karno dan Bung Hatta yang menjiwai Pasal 33 UUD 1945, meski mereka berlainan visi dalam masalah demokrasi politik, pada hakikatnya tidak menghendaki ketergantungan pada bantuan luar negeri, tetapi menghormati kemitraan atau interdependensi. Demokrasi ekonomi Bung Karno inheren dengan demokrasi politik yang diformulasikan dalam Trisakti, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Presiden kedua RI, Soeharto, sebelum dikukuhkan menjadi pejabat presiden, melalui kewenangan yang diberikan Bung Karno dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), membubarkan dan melarang PKI, dan sekaligus menangkap dan menahan sejumlah menteri dan tokoh-tokoh yang dianggap terlibat dalam G30S. Karena amanat Nawaksara 22 Juni 1966 dan Pelengkap Nawaksara 10 Januari 1967 dari Presiden Soekarno yang dianggap MPRS tidak memenuhi harapan rakyat dan tidak memuat dengan jelas kebijaksanaan Presiden Soekarno atas peristiwa G30S/PKI, maka MPRS mengadakan sidang istimewa MPRS dari 1 sampai 12 Maret 1967 dan mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno serta menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden dengan Ketetapan No. XXXIII/ MPRS/1967.

Semula, strategi pemerintahan Soeharto bertumpu pada kekuatan ABRI dan teknokrat dalam suatu civilian-military administrative structure dengan tim ekonomi yang dikenal sebagai Berkeley Group. Sekber Golkar yang sudah terbentuk pada zaman Soekarno, dikembangkan menjadi Golkar, dan berfungsi sebagai organisasi politik peserta pemilu yang menjadi wadah politik pemerintah Soeharto untuk mempertahankan eksistensinya.

Selama pemerintahannya, Soeharto berprinsip kembali ke UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen dan akan melaksanakan sistem Demokrasi Pancasila. Namun dalam perkembangannya, kebijakan Orde Baru oleh Soeharto mulai menampakkan korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945 terkesan menjadi bisnis keluarga dan kroni-kroni.

Krisis moneter, krisis ekonomi, serta krisis politik yang memuncak pada 1997 mengakibatkan rapat pimpinan DPR dan fraksi-fraksi memutuskan meminta Presiden Soeharto demi menjaga persatuan dan kesatuan supaya secara arif mengundurkan diri. Di samping itu, para menteri mengatakan tidak bersedia duduk dalam kabinet reformasi yang akan dibentuk, sehingga Presiden Soeharto lengser dan digantikan Wapres BJ Habibie pada 21 Mei 1998.

Sistem Oposisi

BJ Habibie selaku presiden ketiga pada 21 Mei 1998 membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan. Dia mulai memenuhi agenda reformasi dengan membebaskan tahanan politik, memberikan kebebasan pers, mengintroduksi sistem oposisi dalam pemerintahan, melaksanakan pemilu yang jujur dan adil serta berani mengambil risiko memberlakukan referendum di Timor Timur dengan opsi otonomi khusus. Namun, karena dalam menyelenggarakan agenda reformasi Habibie kurang bertumpu pada platform politik yang kuat, di samping hasil referendum yang berakibat lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan RI, mengakibatkan hilangnya kesempatan terpilih sebagai presiden pada sidang MPR 1999.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden ke-4, meski- pun Pemilu 1999 dimenangkan PDI-P dengan 34% suara disusul Golkar 22.5%, namun bukan Megawati atau Habibie yang incumbent yang dimotori oleh “Iramasuka” yang berhasil jadi presiden, tetapi Gus Dur sebagai hasil dari gagasan “poros tengah” yang dipelopori Amin Rais (PAN), PKB, PPP, dan partai kecil (lainnya).

Sidang Umum MPR 20 Oktober 1999 Gus Dur memenangkan 373 melawan 313 suara bagi Megawati, yang kemudian diangkat jadi Wapres pada 21 Oktober 1999. Gus Dur segera membentuk Kabinet Pelangi. Gus Dur sangat memperhatikan kemajemukan bangsa dan menghargai kebinekaan sebagai perekat hidup bernegara.

Karena ketegangan antara pemerintah dan MPR DPR, Gus Dur mengeluarkan Dekrit 23 Juli 2001 yang membekukan MPR-DPR, menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Golkar sampai putusan Mahkamah Agung.

Pada hari yang sama, MA mengeluarkan fatwa membatalkan dekrit Gus Dur, karena sistem kenegaraan UUD 1945 tidak memberikan wewenang kepada presiden untuk membekukan MPR-DPR, sekaligus Sidang Istimewa MPR pada hari itu juga, 23 Juli 2001, mengakhiri jabatan Gus Dur sebagai presiden dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden ke-5.

Megawati dan Hamzah Haz sebagai wapres membentuk kabinet yang dianggap ahli dalam bidang sektoral dengan keseimbangan hasil perolehan suara dalam pemilu yang mendapat julukan sebagai the dream team, menghadapi krisis multidimensional akibat peninggalan pemerintahan yang lalu.

Hasil Pemilu 2004 menaikkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 sebagai presiden dan wapres, kini masing-masing berusaha merebut RI satu dalam Pilpres 8 Juli 2009.

Konstitusional

Situasi politik menjelang Pilpres 8 Juli 2009 makin menghangat dalam posisi bahwa partai Demokrat (yang identik dengan SBY) telah unggul dalam pemilu legislatif yang lalu, diikuti oleh Partai Golkar dan PDI-P. Pemerintahan SBY-YK dalam periode 2004-2009 ini dapat dinilai masyarakat berhasil menjaga stabilitas politik dan ekonomi, khususnya swasembada pangan dan pembayaran utang luar negeri, serta pemberantasan korupsi (dari segi inward looking), sedang outward looking berhasil membangun political capital melalui berbagai pertemuan internasional, baik dalam pertemuan KTT non-Blok tahun 2006 di Havana, maupun sebagai anggota Dewan Keamanan PBB pada September 2007, atau sebagai peserta KTT G-8 di Hokkaido pada Juli 2008. Berbagai pertemuan internasional yang dihadiri di luar negeri maupun yang diselenggarakan dalam negeri seperti yang terakhir menyukseskan Bali Roadmap bersama Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam konferensi UNCCC (UN Conference on Climate Change), yang hampir deadlock.

Siapa pun pemenang dalam Pilpres 8 Juli 2009 yang akan datang, haruslah pemimpin yang akseptabel dalam arti diterima dan diakui oleh masyarakat dalam dan luar negeri dengan meneliti rekam jejaknya serta konstitutional dalam arti setia kepada konstitusi dan tujuan negara yang telah dipatri oleh founding fathers dalam Pembukaan UUD 1945, yang menurut Konsensus Nasional, tidak dapat diubah dan mengandung dasar negara Pancasila serta kebinekaan.

UUD 1945, yang sudah mengalami empat kali amendemen, adalah hasil cita-cita reformasi yang mengukuhkan HAM dan penegakan hukum. Jangan ada unsur-unsur yang antipluralisme dalam kontestan pilpres mendatang. Yang akan membuat peraturan-peraturan yang berlawanan dengan konstitusi.

Lawan Para Penindas

Setiap kemajuan dalam susunan masyarakat hanya dapat tercapai melalui REVOLUSI. Begitu kepentingan rakyat yang dimarjinalkan yang sudah lama ditindas mendapat angin, kekuasaan para penindas mesti dilawan dan digulingkan. Apabila rakyat marjinal bertambah kuat, kepentingannya akan mengalahkan para penguasa yang Tiranu, jadi akan mengubah ketergantungannya dari penguasa dan pengusaha dan itu berarti membongkar kekuasaan para penguasa dan pengusaha yang kapitalis, yang telah merampas hak rakyat sehingga rakyat yang tertindas dijadikan bodoh, miskin, penyakitan dan kelaparan. Sebaliknya, para pengusaha yag kapitalis itu dan penguasa negeri ini, karena mereka yang berkuasa diatas negeri ini juga berkepentingan mempertahankan kekuasaannya.

Maka para pengusaha yang kapaitalis dan penguasa negeri ini tidak mungkin merelakan perubahan sistem kekuasannya karena perubahan niscaya mengakhiri peranannya sebagai pihak yang merampas hak rakyat.

Karena itu, sebuah perubahan sitem sosial hanya dapat tercapai dengan jalan Anarki, melalui REVOLUSI. Itulah sebabnya mengapa rakyat yang tertindas menentang semua usaha untuk saling berdamai dengan penguasa negeri ini dan pengusaha yang kapitalis, yang jelas-jelas merampas hak ekonomi sosial dan budayanya.

Mengapa mereka bersitegang dan tidak ingin saling berdamai, Bahwa reformasi yaitu perbaikan kedudukan dan kesetaraan antara pihak yang berkuasa dan rakyat yang tertindas, dalam sistem sosial yang sudah ada, tidak mungkin rakyat menerima janji-janji kebohongan para politikus yang nantinya akan melanggengkan kekuasaannya.

Bahwa semua reformasi dan usaha perdamaian antara pihak yang berkuasa dan rakyat yang dimarjinalkan adalah sebuah kepalsuan tetap hanya menguntungkan pihak yang yang berkuasa yaitu pemerintah dan pengusaha kapitalis, karena mereka selalu mengerem perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari ketergantungan para pengusaha kapitalis!!!

Sabtu, 02 Mei 2009

Skandal Sang Penegak Hukum

Motif di balik pembunuhan Bos PT RPB Nasrudin Zulkarnaen masih ditutupi pihak kepolisian. Namun beredar sas sus, kisah cinta segitiga merupakan awal dari malapetaka untuk Nasrudin.

Menurut sumber, Nasrudin mencari 'masalahnya' ketika memacari seorang wanita yang berprofesi sebagai caddy di sebuah lapangan golf di Bogor. Nasrudin sudah tahu bahwa wanita berinisial R, sebut saja Ratna, itu merupakan kekasih seorang pejabat lembaga hukum berinisial Az.

Karena Az tidak berani menerima tantangan Ratna untuk menikahinya, Ratna memilih menerima lamaran Nasrudin. Akhirnya mereka menikah secara siri, Ratna sah menjadi istri ketiga Nasrudin. Dan Az pun hanya bisa gigit jari.

Namun cinta Az rupanya belum padam. Dia tetap ingin menjalin kasih dengan Ratna. Karena masih cinta, keduanya pun memilih backstreet. Perselingkuhan antara Ratna dan Az pun terjadi.

Nasrudin bukannya tidak tahu istri yang dinikahi sirinya itu berselingkuh dengan mantan kekasihnya, Az. Karena Az orang penting, Nasrudin pun berusaha mencari keuntungan, dengan menjebak keduanya.

Suatu hari, Nasrudin memergoki mereka tengah bermesraan. Nasrudin yang telah menyiapkan kamera pun langsung mengabadikan keduanya dalam kondisi tanpa mengenakan pakaian. Jepreeet! Dari situlah semua bermula.

Nasrudin memanfaatkan foto tersebut untuk memeras pejabat KPK tersebut. Az tak berdaya. Nasrudin terus meminta uang dan berbagai kemudahan kepada Az. Hingga pada akhirnya Az tak tahan dan curhat kepada seorang temannya yang merupakan bos Harian Merdeka berinisial S. Di tangan S lah semua rencana disusun untuk menghabisi Nasrudin. Doorrr!!

Antashari Di Tangkap Karena Terlibat Pembunuhan?

Seorang pejabat KPK, berinisial Az dikabarkan ditangkap oleh penyidik Mabes Polri. Penangkapan Az tersebut diduga terkait kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen.

Namun ketika berita itu dikonfirmasi ke para pejabat KPK tidak ada satupun yang berhasil.Sudah menghubungi wakil Ketua KPK, Chandra M Hamzah, Bibit Waluyo, dan juru bicara KPK Johan Budi SP.

Chandra M Hamzah ketika dihubungi telepon genggamnya tidak diangkat. Hal yang sama juga terjadi pada Bibit Waluyo. Sedangkan Johan Budi telepon selulernya mail box.

Menurut sumber Expand, kabarnya Az sudah dijemput oleh Densus 88 di kediamannya selepas Maghrib Kamis (20/4). 2 Tim Gegana di Giri Loka dan Pondok Indah. "Namun Az belum menampakkan diri di 2 lokasi tersebut," ujar sumber itu yang tidak ingin disebutkan namanya.

Rencananya, Az akan dibawa ke Mabes Polri malam ini juga untuk dimintai keterangan. Sementara Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol. Abubakar Nataprawira ketika dibuhungi Expandnews juga tidak mengangkat telepon selulernya.

Hingga saat ini, Bareskrim Mabes Polri sudah dipenuhi wartawan baik media cetak dan elektronik. Namun hingga detik ini, tim penyidik Mabers Polri belum terlihat membawa Az.

Sumber itu juga menyebutkan bahwa sebelumnya dikabarkan, penyidik Mabes Polri juga sudah menangkap seorang pejabat kepolisian berpangkat Kombes.

Pria yang berinisial W itu ditangkap pada pukul 07.00 WIB. Ia diduga terlibat dalam kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran (PRB) Nasrudin Zulkarnaen.