Jumat, 15 Mei 2009

Mencari Negarawan Berjiwa Leader

“Each leader belongs to a particular combination of time, place and circumstances, leaders are not interchangeable; great leadership is a unique form of art, requiring both force and vision to an extraordinary degree. Managers have as their goal to do things right and thinks of today and tomorrow, but leaders have as their goal to do the right things and think of the day after tomorrow.”

Demikian petikan pendapat Presiden Richard Nixon dalam bukunya Leaders, yang antara lain, menggambarkan perbedaan pemimpin yang bertipe manager dan yang berjiwa leader. Dia menggambarkan seorang manajer hanya administrator yang menjalankan hal-hal yang rutin dan menguasai manajemen sesuai SOP (standing operation procedure), sedang leader adalah change agent yang mempunyai visi ke depan, yang bila perlu mengubah dan meningkatkan aturan main untuk menetapkan sistem yang tepat sesuai kebutuhan masa depan.

Seorang negarawan adalah leader yang mempunyai visi ke depan. Bahkan, dapat memprediksi suatu situasi masa depan, berdasarkan analisis situasi dan konstelasi politik dan sosial-ekonomi pada masa yang sedang dialaminya. Jauh sebelum Perang Dunia II meletus, Bung Karno telah memprediksi akan pecah perang di kawasan Pasifik.

Memang Bung Karno adalah leader pada zamannya untuk memimpin bangsa melawan kolonialisme menuju kemerdekaan sesuai dengan cita-cita dan tujuan negara dalam Pembukaan UUD 1945. Bung Karno bukannya tidak mempunyai konsepsi ekonomi untuk menyejahterakan bangsanya. Dia sangat gandrung dengan prinsip kemandirian dalam bidang ekonomi yang diuraikannya dalam amanat Tahun Berdikari.

Demokrasi ekonomi dari Bung Karno dan Bung Hatta yang menjiwai Pasal 33 UUD 1945, meski mereka berlainan visi dalam masalah demokrasi politik, pada hakikatnya tidak menghendaki ketergantungan pada bantuan luar negeri, tetapi menghormati kemitraan atau interdependensi. Demokrasi ekonomi Bung Karno inheren dengan demokrasi politik yang diformulasikan dalam Trisakti, yaitu berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Presiden kedua RI, Soeharto, sebelum dikukuhkan menjadi pejabat presiden, melalui kewenangan yang diberikan Bung Karno dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), membubarkan dan melarang PKI, dan sekaligus menangkap dan menahan sejumlah menteri dan tokoh-tokoh yang dianggap terlibat dalam G30S. Karena amanat Nawaksara 22 Juni 1966 dan Pelengkap Nawaksara 10 Januari 1967 dari Presiden Soekarno yang dianggap MPRS tidak memenuhi harapan rakyat dan tidak memuat dengan jelas kebijaksanaan Presiden Soekarno atas peristiwa G30S/PKI, maka MPRS mengadakan sidang istimewa MPRS dari 1 sampai 12 Maret 1967 dan mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno serta menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden dengan Ketetapan No. XXXIII/ MPRS/1967.

Semula, strategi pemerintahan Soeharto bertumpu pada kekuatan ABRI dan teknokrat dalam suatu civilian-military administrative structure dengan tim ekonomi yang dikenal sebagai Berkeley Group. Sekber Golkar yang sudah terbentuk pada zaman Soekarno, dikembangkan menjadi Golkar, dan berfungsi sebagai organisasi politik peserta pemilu yang menjadi wadah politik pemerintah Soeharto untuk mempertahankan eksistensinya.

Selama pemerintahannya, Soeharto berprinsip kembali ke UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen dan akan melaksanakan sistem Demokrasi Pancasila. Namun dalam perkembangannya, kebijakan Orde Baru oleh Soeharto mulai menampakkan korupsi, kolusi dan nepotisme, sehingga asas kekeluargaan dalam Pasal 33 UUD 1945 terkesan menjadi bisnis keluarga dan kroni-kroni.

Krisis moneter, krisis ekonomi, serta krisis politik yang memuncak pada 1997 mengakibatkan rapat pimpinan DPR dan fraksi-fraksi memutuskan meminta Presiden Soeharto demi menjaga persatuan dan kesatuan supaya secara arif mengundurkan diri. Di samping itu, para menteri mengatakan tidak bersedia duduk dalam kabinet reformasi yang akan dibentuk, sehingga Presiden Soeharto lengser dan digantikan Wapres BJ Habibie pada 21 Mei 1998.

Sistem Oposisi

BJ Habibie selaku presiden ketiga pada 21 Mei 1998 membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan. Dia mulai memenuhi agenda reformasi dengan membebaskan tahanan politik, memberikan kebebasan pers, mengintroduksi sistem oposisi dalam pemerintahan, melaksanakan pemilu yang jujur dan adil serta berani mengambil risiko memberlakukan referendum di Timor Timur dengan opsi otonomi khusus. Namun, karena dalam menyelenggarakan agenda reformasi Habibie kurang bertumpu pada platform politik yang kuat, di samping hasil referendum yang berakibat lepasnya Timor Timur dari Negara Kesatuan RI, mengakibatkan hilangnya kesempatan terpilih sebagai presiden pada sidang MPR 1999.

KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden ke-4, meski- pun Pemilu 1999 dimenangkan PDI-P dengan 34% suara disusul Golkar 22.5%, namun bukan Megawati atau Habibie yang incumbent yang dimotori oleh “Iramasuka” yang berhasil jadi presiden, tetapi Gus Dur sebagai hasil dari gagasan “poros tengah” yang dipelopori Amin Rais (PAN), PKB, PPP, dan partai kecil (lainnya).

Sidang Umum MPR 20 Oktober 1999 Gus Dur memenangkan 373 melawan 313 suara bagi Megawati, yang kemudian diangkat jadi Wapres pada 21 Oktober 1999. Gus Dur segera membentuk Kabinet Pelangi. Gus Dur sangat memperhatikan kemajemukan bangsa dan menghargai kebinekaan sebagai perekat hidup bernegara.

Karena ketegangan antara pemerintah dan MPR DPR, Gus Dur mengeluarkan Dekrit 23 Juli 2001 yang membekukan MPR-DPR, menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun, dan membekukan Golkar sampai putusan Mahkamah Agung.

Pada hari yang sama, MA mengeluarkan fatwa membatalkan dekrit Gus Dur, karena sistem kenegaraan UUD 1945 tidak memberikan wewenang kepada presiden untuk membekukan MPR-DPR, sekaligus Sidang Istimewa MPR pada hari itu juga, 23 Juli 2001, mengakhiri jabatan Gus Dur sebagai presiden dan mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai presiden ke-5.

Megawati dan Hamzah Haz sebagai wapres membentuk kabinet yang dianggap ahli dalam bidang sektoral dengan keseimbangan hasil perolehan suara dalam pemilu yang mendapat julukan sebagai the dream team, menghadapi krisis multidimensional akibat peninggalan pemerintahan yang lalu.

Hasil Pemilu 2004 menaikkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Yusuf Kalla dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Setelah dilantik pada 20 Oktober 2004 sebagai presiden dan wapres, kini masing-masing berusaha merebut RI satu dalam Pilpres 8 Juli 2009.

Konstitusional

Situasi politik menjelang Pilpres 8 Juli 2009 makin menghangat dalam posisi bahwa partai Demokrat (yang identik dengan SBY) telah unggul dalam pemilu legislatif yang lalu, diikuti oleh Partai Golkar dan PDI-P. Pemerintahan SBY-YK dalam periode 2004-2009 ini dapat dinilai masyarakat berhasil menjaga stabilitas politik dan ekonomi, khususnya swasembada pangan dan pembayaran utang luar negeri, serta pemberantasan korupsi (dari segi inward looking), sedang outward looking berhasil membangun political capital melalui berbagai pertemuan internasional, baik dalam pertemuan KTT non-Blok tahun 2006 di Havana, maupun sebagai anggota Dewan Keamanan PBB pada September 2007, atau sebagai peserta KTT G-8 di Hokkaido pada Juli 2008. Berbagai pertemuan internasional yang dihadiri di luar negeri maupun yang diselenggarakan dalam negeri seperti yang terakhir menyukseskan Bali Roadmap bersama Sekjen PBB Ban Ki-moon dalam konferensi UNCCC (UN Conference on Climate Change), yang hampir deadlock.

Siapa pun pemenang dalam Pilpres 8 Juli 2009 yang akan datang, haruslah pemimpin yang akseptabel dalam arti diterima dan diakui oleh masyarakat dalam dan luar negeri dengan meneliti rekam jejaknya serta konstitutional dalam arti setia kepada konstitusi dan tujuan negara yang telah dipatri oleh founding fathers dalam Pembukaan UUD 1945, yang menurut Konsensus Nasional, tidak dapat diubah dan mengandung dasar negara Pancasila serta kebinekaan.

UUD 1945, yang sudah mengalami empat kali amendemen, adalah hasil cita-cita reformasi yang mengukuhkan HAM dan penegakan hukum. Jangan ada unsur-unsur yang antipluralisme dalam kontestan pilpres mendatang. Yang akan membuat peraturan-peraturan yang berlawanan dengan konstitusi.

Tidak ada komentar: